You are currently viewing PASTOR  PRIHATIN DENGAN “MISA DIAM” DI GEREJA PAROKI

PASTOR  PRIHATIN DENGAN “MISA DIAM” DI GEREJA PAROKI

Seorang pastor bercerita pada penerbit , karena beliau prihatin akan suasana Perayaan Ekaristi yang dipimpinnya.

Suatu hari, pastor hendak memimpin Misa. Dan pada saat pastor berada di dalam Sakristi, seorang petugas seksi liturgy mengingatkan pastor  bahwa “Misa ini, Misa diam, pastor!”

Pastor tersebut agak bingung dengan informasi petugas tersebut. dan  bertanya, “Apa maksudnya Misa diam?”.  Petugas liturgi tersebut menjelaskan  bahwa Misa diam adalah Misa Tanpa Nyanyian.  Dan…pastor itu pun merayakan misa yang ‘diam-diam saja itu’.

Pada Perayaan Ekaristi berikutnya…pastor itu memimpin misa lagi. Seorang petugas liturgi menghampiri pastor dan mengingatkan  bahwa “Misa ini, koor umat”. Ternyata…maksudnya adalah Misa yang diiringi oleh organis,  dengan seorang pemazmur yang sekaligus merangkap Solis  dalam misa, dengan harapan semua  umat ikut bernyanyi bersama solis tersebut. 

Pastor tersebut merasa ada yang kurang dengan model “Misa diam” dan “koor umat” seperti itu . Karena sebagai seorang pastor, tentu beliau sangat mengharapkan  partisipasi aktif  umat agar Misa terasa lebih meriah dan melibatkan sebanyak mungkin umat untuk memuliakan Allah, lewat doa-doa, jawaban-jawaban dan tentu lewat nyanyian-nyanyian,

Karena itu, pada Perayaan Ekaristi berikutnya , ketika jadwalnya adalah Misa diam….maka pastor tersebut  mulai menyanyikan bagian-bagian dialog imam-umat , misalnya pada saat  Kyrie (Tuhan kasihanilah kami), Bapa Kami, dan lain-lain.

Pada kesempatan2 tertentu, pastor tersebut  mulai mengajak umat untuk ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi dengan sepenuh hati, dengan kerelaan untuk terlibat dan melibatkan diri, termasuk dengan menyiapkan suatu kelompok umat yang menggerakkan umat dalam bernyanyi.

Pastor itu bertanya-tanya mengapa dikenal dan dipraktekkan model misa diam dan koor umat seperti itu di Paroki tersebut. Padahal Paroki tersebut  jumlah umatnya banyak, dan Gedung gerejanya besar dan megah. tetapi perayaan Ekaristi pada hari Minggu terasa loyo dan “seadanya”. 

Rupanya, inilah efek atau situasi berkelanjutan dari masa pandemi Covid-19. Ketika itu, banyak misa online -terutama Misa Minggu- yang dengan tanpa umat dan tanpa iringan menghasilkan Perayaan Ekaristi yang sesingkat-singkatnya. Dan rupanya umat senang dengan Perayaan Ekaristi yang sesingkat-singkatnya.

Nah, umat  beriman yang baik, sungguhkah misa diam dan dirayakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya adalah suatu model Perayaan Ekaristi yang bagus, ideal dan memenuhi harapan banyak orang?

Pastor tadi berkata, “Saya mendambakan suatu Perayaan Ekaristi, yang benar-benar suatu perayaan bersama, di mana semua orang yang hadir berpartisipasi menurut tugas dan perannya untuk menghasilkan suatu perayaan yang mulia, meriah dan mengesankan.

Agar tercipta perayaan sedemikian, imam dan umat mengaktualisasikan semua potensi yang sudah Tuhan berikan untuk berdoa dan bernyanyi dengan penuh suka cita. Musik dan nyanyian, adalah hal-hal yang turut membantu menciptakan suatu perayaan yang mulia, meriah dan mengesankan.”

Masa pandemic Covid-19, atas rahmat dan anugerah Allah, telah kita lewati bersama. Kita yang telah diberi waktu dan kesempatan yang sebanyak dan seluas mungkin untuk berbakti kepada Allah dalam perayaan-perayaan liturgis bersama, seperti Misa Minggu/Hari Raya, masihkah kita berpuas diri dengan perayaan yang diam-diam dan dalam waktu sesingkat-singkatnya seperti model misa diam dan koor umat seperti dialami Pastor tadi?

Ayolah, syukuri anugerah Tuhan lewat waktu dan kesempatan dan lewat anugerah yang Tuhan berikan kepada kita. Hai, kamu dan kita, yang bisa menyanyi dengan merdu dan berjam-jam di depan layar (entah di rumah atau di tempat karaoke), tidak bisakah mempersembahkan talenta itu untuk Tuhan, Sang Pemberi,  dalam suatu perayaan suci dan mulia untuk Dia? Libatkan dirimu, dan pengaruhi sesamamu, untuk mempersembahkan kepada Tuhan suatu perayaan bersama yang mulia, meriah dan mengesankan. Ayo kita pergi ke Gereja untuk bernyanyi bagi Tuhan, kita pergi bersama teman-teman untuk menggerakkan perayaan bersama lewat partisipasi yang sungguh aktif sesuai dengan peran dan tugas kita masing-masing.

Buku “Cantate” adalah persembahan mereka yang dianugerahi talenta oleh Tuhan untuk menyusun lagu-lagu yang dapat membantu dan menciptakan suatu Perayaan Ekaristi yang mulia, megah dan mengesankan sesuai dengan kaidah-kaidah liturgis. Buku yang memuat sejumlah pilihan lagu-lagu ordinarium,  dengan arransement untuk koor (SATB), dengan notasi balok untuk pengiring, bahkan dengan notasi angka untuk umat (1 suara), sungguh dirancang untuk menghasilkan suatu perayaan ekaristi sebagai perayaan bersama, di mana ada saat-saat kita bernyanyi bersama dan ada saat kita “bersahut-sahutan” dengan koor.

Miliki dan gunakan Buku “Cantate” dan jadikanlah dirimu, kelompok koormu dan umat lingkunganmu sebagai kaum penyanyi bagi Tuhan seperti ajakan pemazmur, “Bernyanyilah bagi Tuhan, Pujilah namaNya”.

Leave a Reply